Saat Girlgroup No Na dan Brand Kecantikan Mengubah Standar Kecantikan Indonesia

1 week ago 20

Fimela.com, Jakarta Selama bertahun-tahun, definisi cantik di Indonesia cenderung seragam yakni kulit cerah dan nyaris putih. Iklan televisi, billboard di jalan raya, hingga rak-rak skincare di toko-toko ritel dipenuhi narasi bahwa semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi nilai estetikanya. Tak heran, produk pemutih masih mendominasi pasar, dan warna kulit sawo matang kerap diposisikan sebagai “yang harus diubah.”

Namun, gelombang perubahan kini datang dari dua arah sekaligus: dunia hiburan dan industri kecantikan. Di tengah maraknya kampanye self-love dan keberagaman, muncul girlgroup lokal bernama no na yang merepresentasikan warna kulit asli Indonesia dengan penuh kebanggaan. Tak lagi membaur dalam stereotip “kulit cerah adalah segalanya,” mereka berdiri teguh menunjukkan bahwa cantik bisa datang dalam berbagai warna kulit.

Warisan Standar Kulit Putih

Melansir dari Liputan6.com, konstruksi “kulit putih adalah ideal” telah tertanam sejak era kolonial. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, wajah berkulit terang, baik Eropa maupun Asia Timur, mendominasi iklan dan media. Model berkulit putih dijadikan simbol kelas atas dan kecantikan. Pasca kemerdekaan hingga era Orde Baru, narasi ini diperkuat oleh industri periklanan yang menjual wajah putih dan glowing sebagai simbol modernitas. Masuknya K-pop dan K-beauty di era globalisasi semakin memperkuat asosiasi ini.

Akibatnya, perempuan Indonesia yang berkulit sawo matang dan gelap sering merasa tidak cukup cantik. Stigma ini membatasi ekspresi diri dan membentuk standar tidak realistis yang mempengaruhi kepercayaan diri generasi muda.

No Na: Wajah Baru Indonesia di Panggung Global

Pada Mei 2025, label musik ternama 88rising resmi memperkenalkan girlgroup terbarunya: no na. Beranggotakan Christy Gardena, Baila Fauri, Esther Geraldine, dan Shazfa Adesya, kuartet asal Indonesia ini debut dengan single perdana bertajuk “Shoot”, sebuah lagu pop dengan sentuhan R&B yang menonjolkan harmoni vokal mereka yang khas.

Grup ini pertama kali bertemu dalam acara Head in the Clouds Jakarta pada Desember 2022, festival musik 88rising yang untuk pertama kalinya digelar di Asia. Tiga anggota awal, yakni Christy, Shaz, dan Baila, saling mengenal di sana sebelum akhirnya dilengkapi oleh Esther enam bulan kemudian. Keempatnya menjalani pelatihan intensif vokal dan tari di Jakarta, sebelum akhirnya pindah ke Los Angeles pada 2024 untuk fokus penuh dalam karier musik internasional.

Nama no na sendiri diambil dari kata “nona,” dalam Bahasa Indonesia, sebuah penegasan identitas perempuan muda Indonesia yang siap menginjakkan kaki di panggung global tanpa harus mengubah jati diri mereka.

Dalam berbagai kesempatan, termasuk video musik “Shoot” yang direkam di Indonesia, no na secara sadar membawa elemen budaya dan identitas lokal. Mereka juga berencana menyisipkan frasa dalam Bahasa Indonesia di lagu-lagu mendatang, sebagai bentuk perwakilan negara asal mereka. Shaz mengatakan, “Kami ingin memperkenalkan Indonesia ke dunia. Tidak banyak yang tahu tentang negara kami, dan kami ingin jadi jembatan untuk itu.”

Musik mereka mengambil inspirasi dari R&B klasik dan kontemporer, mulai dari Janet Jackson, Diana Ross, hingga Victoria Monét dan grup FLO. Lagu kedua mereka, “Superstitious”, mengusung nuansa pop yang lebih ringan, namun tetap berada dalam jalur musikal yang sama: groovy, catchy, dan soulful.

Lebih dari sekadar penampilan dan musikalitas, no na hadir dengan visual yang menyegarkan. Warna kulit mereka yang mencerminkan keragaman perempuan Indonesia ditampilkan tanpa disamarkan, sesuatu yang langka dalam industri hiburan Asia yang masih cenderung mengagungkan kulit terang. Dengan kepercayaan diri penuh, mereka menantang stereotip bahwa kecantikan hanya hadir dalam satu warna.

Kehadiran No Na langsung menarik perhatian di media sosial. Di TikTok dan Instagram, penggemar menyuarakan apresiasi mereka terhadap representasi yang selama ini langka. Banyak yang merasa akhirnya “melihat diri sendiri” di layar kaca.

Komentar seperti “akhirnya ada girlgroup yang kayak kita banget” atau “kulit sawo matang juga bisa bersinar di panggung” menjadi bukti bahwa kehadiran No Na bukan hanya segar, tapi juga penting secara sosial.

Industri Kecantikan Ikut Bergerak

Seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya inklusivitas, industri kecantikan di Indonesia mulai bertransformasi. Brand-brand lokal seperti Somethinc, Make Over, Wardah, ESQA, BLP, dan banyak lainnya kini menghadirkan foundation, cushion, hingga bedak dalam rentang warna yang jauh lebih luas, tidak lagi terpaku pada tone terang, tetapi juga mencakup shade untuk kulit sawo matang hingga gelap. Langkah ini menjadi sinyal penting bahwa pasar Indonesia mulai mengakui keragaman kulit masyarakatnya.

Dari sisi brand global, TIRTIR, brand asal Korea Selatan yang tengah naik daun, juga telah merilis cushion dengan pilihan warna yang lebih ramah untuk kulit Asia Tenggara, termasuk undertone kuning yang dominan di Indonesia. Begitu pula dengan MAC Cosmetics yang menghadirkan lini Studio Fix Powder Plus Foundation dalam 25 shade khusus untuk kulit Asia, sebuah langkah progresif dari brand yang dulu sering dikritik karena kurang inklusif.

Rekomendasi Produk Inklusif

  • Somethinc Copy Paste Breathable Cushion – Rp179.000
  • Make Over Powerstay SYNC MATTE CUSHION – Rp239.000
  • Wardah Colorfit Matte Foundation – Rp92.000
  • ESQA Flawless Cushion – Rp225.000
  • BLP Face Base – Rp189.000
  • TIRTIR Mask Fit Red Cushion – Rp300.000–Rp350.000
  • MAC Studio Fix Powder Plus Foundation 24hr Oil Control – ±Rp700.000

Perubahan yang dibawa oleh no na dan brand-brand kecantikan ini bukan sekadar tren. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap narasi lama yang sempit, sekaligus upaya kolektif membangun definisi cantik yang lebih inklusif dan membumi. Karena kulit sawo matang, gelap, atau apapun warnanya, semua layak dirayakan.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Read Entire Article
Beauty |