Fimela.com, Jakarta Dulu, kemewahan selalu terasa jauh dan tak tersentuh. Eksklusif, elegan, dan kerap hidup di balik etalase butik-butik prestisius. Tapi wajah luxury kini sedang berubah. Salah satu yang menyulut perdebatan adalah langkah berani YSL Beauty Indonesia yang tampil live di TikTok, platform yang selama ini dikenal sebagai rumah bagi konten dance, candaan receh, hingga jualan UMKM.
YSL Beauty yang biasanya hadir dalam nuansa butik penuh kaca dan aroma parfum mahal, kini bisa dinikmati lewat siaran langsung dari layar smartphone. Lantas, muncul pertanyaan: apakah ini langkah adaptif yang cerdas untuk menjangkau Gen Z? Atau justru risiko kehilangan aura eksklusif yang selama ini menjadi nilai jual utama?
TikTok Bukan Lagi Ajang Eksperimen, Tapi Panggung Utama Brand Global
Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok telah menjelma menjadi ujung tombak strategi pemasaran. Menurut laporan Croud (2024), engagement rate TikTok mencapai rata-rata 29%, jauh melampaui Instagram (6%) dan Facebook (2%).
Tak hanya soal angka, tapi juga cara brand berbicara. Di TikTok, komunikasi tak datang dari atas ke bawah. Brand hadir sebagai teman yang memberi insight, bukan sekadar mempromosikan. Dialog terasa lebih nyata dan dekat, termasuk untuk brand mewah.
Pada pertengahan Juli 2025, YSL Beauty Indonesia menggelar siaran langsung di TikTok. Nuansa yang dihadirkan jauh dari kesan heboh ala TikTok live kebanyakan. Seorang beauty advisor tampil anggun dengan dress hitam, makeup minimalis, dan tutur kata santun, membawa kesan butik Paris langsung ke layar kecil para penonton.
Lewat gaya tutur santai namun tetap berkelas, ia memperkenalkan lini produk, membagikan tips kecantikan, hingga menawarkan bundling promo eksklusif yang hanya berlaku selama live berlangsung.
Tanggapan publik? Ramai dan penuh warna. Tak sedikit yang memuji presentasi YSL yang tetap anggun, meski turun langsung ke “pasar digital.” Komentar seperti, “Biasanya host TikTok live kayak habis minum 10 gelas kopi, tapi YSL ini kayak baru keluar dari wine bar,” menjadi bukti bahwa audiens bisa menghargai pendekatan elegan, asal dikemas dengan cerdas.
Respons Netizen: Strategi Adaptif atau Turun Derajat?
Seperti biasa, respon warganet pun terbelah. Di TikTok dan X (dulu Twitter), muncul dua kubu. Sebagian mengapresiasi langkah YSL yang dianggap berani dan relevan di tengah tren digital. “Gen Z nggak cuma beli packaging. Mereka cari experience. Dan live ini bikin YSL terasa lebih dekat,” tulis seorang pengguna.
Namun, ada juga yang menilai live streaming semacam ini bisa menurunkan kelas brand. “Brand luxury harus jaga batas. Kalau udah live kayak gini, jadi kayak jualan marketplace,” ungkap netizen lainnya.
Komentar-komentar jenaka pun bermunculan, mencerminkan gaya konsumsi Gen Z yang humoris namun jeli. Mulai dari, “Kak aku udah co etalase 14,” padahal hanya ada 13 produk, hingga “Gabikin bibir kering.” “Iya kak, tapi bikin dompet kering,” memperlihatkan bahwa luxury kini ditanggapi dengan cara yang lebih luwes dan membumi.
Belajar dari Gucci hingga Moncler: Luxury Bisa Dekat Tanpa Kehilangan Gengsi
YSL tentu bukan pionir. Gucci sukses lewat kampanye #AccidentalInfluencer yang quirky, Balmain menyiarkan show dari atas kapal di Sungai Seine dengan #BalmainsurSeine, hingga Moncler dengan challenge #MonclerBubbleUp yang ditonton miliaran kali.
Menurut Vogue Business, kunci keberhasilan luxury brand di TikTok adalah menjaga tone eksklusif namun membungkusnya dalam konten yang inklusif dan menarik secara visual. Elegan, tapi tetap bisa dirasakan semua kalangan.
Analisa Business of Fashion juga menuturkan, bahwa luxury masa kini bukan lagi soal harga atau label. Tapi soal akses emosional dan koneksi personal.
TikTok hadir sebagai jembatan yang mempertemukan itu semua. Format live, konten pendek, dan challenge memungkinkan brand untuk menyatu dengan keseharian audiens, bukan sekadar menjadi simbol status yang tak terjangkau.
Sebab faktanya, pengguna TikTok lebih sering menemukan merek mewah dari konten buatan kreator (32%) dan user (38%) dibandingkan iklan formal. Satu dari empat bahkan mengaku menunggu review dari kreator sebelum membeli barang mewah. Bahkan, percakapan seputar fashion luxury di TikTok mengalami peningkatan komentar sebesar 113% dalam satu tahun terakhir.
Menuju Masa Depan Luxury yang Lebih Terbuka
Dengan Gen Z dan milenial diproyeksikan menguasai 60% belanja barang mewah pada 2026, preferensi mereka tak bisa diabaikan. Mereka ingin brand yang jujur, responsif, dan transparan. Mereka tak hanya beli produk, mereka beli cerita, nilai, dan siapa yang ada di balik layar.
TikTok menawarkan itu semua. Dan kehadiran YSL di sana bukan soal menurunkan gengsi, tapi menyesuaikan bahasa untuk tetap relevan.
Seperti kata Cassandra Russell dari TikTok UK, “Yang mendorong pembelian barang mewah hari ini bukan sekadar kemewahan, tapi bukti. Kredibilitas kini dibangun lewat kolom komentar dan insight komunitas,” ujarnya dikutip dari TikTok Newsroom.
Langkah YSL Beauty Indonesia mungkin mengundang pro dan kontra. Tapi satu hal jelas, kemewahan sedang mengalami redefinisi. Kini, ia tak lagi berdiri di mal mal mewah. Ia hadir di layar kecil, tanpa kehilangan cita rasa, asal tetap membawa cerita, estetika, dan rasa aspiratif. Karena dalam dunia yang terus berubah, mungkin justru yang tak berani beradaptasi itulah yang pelan-pelan akan tertinggal.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.