Bergesernya Tren Era Kejayaan Influencer di Luar Negeri

Fimela.com, Jakarta Era influencer, mereka yang memiliki jutaan pengikut dan menghasilkan uang dari promosi produk telah mendominasi  media sosial global selama satu dekade terakhir. Namun, di banyak negara, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, ada tanda-tanda jelas bahwa era "keemasan" para mega-influencer ini sedang mengalami kejatuhan atau, lebih tepatnya, sebuah evolusi nyata.

Pergeseran ini bukan berarti influencer akan sepenuhnya hilang, melainkan menunjukkan bahwa model bisnis dan kepercayaan audiens yang lama sudah tidak lagi efektif. Berikut adalah beberapa faktor kunci di balik pergeseran ini:

1. Kelelahan Audiens dan Hilangnya Kepercayaan (Influencer Fatigue and Distrust)

Salah satu pilar utama kekuatan influencer adalah kepercayaan dan keaslian (authenticity). Sayangnya, pilar ini kini telah terkikis parah:

* Jenuh dengan Konten Berbayar: Audiens dibombardir dengan konten bersponsor yang tiada henti. Ketika setiap postingan, ulasan, atau rutinitas pagi terasa seperti iklan berbayar, kejenuhan  muncul, dan pesan promosi menjadi tidak efektif.

* Kurangnya Keaslian: Konsumen, terutama Gen Z dan milenial muda, semakin cerdas. Mereka bisa membedakan antara rekomendasi yang tulus dengan penjualan yang didorong oleh uang. Influencer yang terkesan "memaksakan" produk yang tidak relevan dengan citra mereka kehilangan kredibilitas.

* Gerakan "De-influencing": Di platform seperti TikTok, muncul tren "de-influencing" di mana kreator justru menyarankan audiens untuk tidak membeli produk-produk yang sedang viral, memberikan ulasan jujur yang terkadang blak-blakan. Ini mencerminkan keinginan audiens untuk kembali pada ulasan yang nyata dan dapat dipercaya.

* Membludaknya Jumlah Kreator: Hampir seperempat pengguna media sosial di beberapa negara menganggap diri mereka "kreator konten" atau influencer. Peningkatan jumlah ini menyebabkan saturasi pasar. Akibatnya, nilai dan dampak dari influencer besar menjadi encer (diluted).

* Penurunan Tingkat Keterlibatan (Engagement Rate): Dengan begitu banyaknya konten yang diposting, tingkat keterlibatan rata-rata untuk influencer besar telah menurun secara signifikan di hampir semua platform, termasuk Instagram dan TikTok.

3. Bangkitnya Micro dan Nano-Influencer 

Sebagai respons terhadap hilangnya kepercayaan pada mega-influencer, merek-merek di luar negeri mulai menggeser fokus mereka ke segmen yang lebih kecil:

* Micro-Influencer (10.000–100.000 pengikut) dan Nano-Influencer (di bawah 10.000 pengikut) sering kali memiliki tingkat keterlibatan yang jauh lebih tinggi dan hubungan yang lebih personal dengan komunitas mereka.

* Rekomendasi dari nano-influencer terasa seperti saran dari seorang teman, bukan iklan. Pergeseran ini menunjukkan bahwa influence sejati kini diukur dari koneksi yang mendalam alih-alih jumlah pengikut yang besar.

 4. Tekanan dan Burnout pada Kreator

 Di balik kehidupan glamor yang ditampilkan di media sosial, banyak influencer yang menghadapi krisis kesehatan mental yang serius, yang dikenal sebagai Creator Burnout (kelelahan kreator).

* Tuntutan Algoritma: Platform menghargai konsistensi di atas kualitas. Tekanan untuk terus memproduksi konten baru setiap hari, tanpa istirahat, untuk mengalahkan algoritma, sangat melelahkan.

* Kurangnya Batasan Kerja-Hidup: Bagi influencer, kehidupan pribadi adalah konten. Tidak adanya pemisahan antara kerja dan kehidupan memicu stres dan kecemasan, yang pada akhirnya memengaruhi kualitas dan keaslian konten mereka.

Daripada menganggapnya sebagai "kematian" era influencer, lebih tepat untuk menyebutnya sebagai transformasi.

Pemasaran influencer tidak hilang, tetapi sedang disaring. Pasar menuntut transparansi, keaslian, dan koneksi yang lebih nyata. Merek yang sukses adalah mereka yang berinvestasi dalam kemitraan jangka panjang dengan kreator yang secara genuin mewakili nilai merek mereka, terlepas dari seberapa besar jumlah pengikut mereka.

Era clout (popularitas semata) telah berakhir. Era keaslian yang terukur telah tiba.

Influencer yang memilih hiatus dan kariernya mereduo:

1. Michelle Phan

Puncak Popularitas: Awal hingga pertengahan 2010-an. 

Alasan MeredupBurnout dan Hiatus Panjang. Sebagai salah satu perintis vlogger kecantikan, kariernya mulai meredup setelah ia mengambil jeda panjang dari YouTube karena mengalami burnout (kelelahan). Meskipun ia kembali dengan konten baru, dominasi pasar kecantikan YouTube telah diambil alih oleh generasi influencer yang lebih baru seperti James Charles atau Jeffree Star, dan brand kosmetiknya sendiri, Em Cosmetics, fokus pada pasar yang lebih niche.

2. Chiara Ferragni

Pada Desember 2023, Ferragni didenda lebih dari €1 juta oleh otoritas antimonopoli Italia (AGCM) karena dugaan praktik komersial yang tidak adil dan menyesatkan terkait kolaborasi kue Pandoro edisi Natal dengan perusahaan Balocco. Kampanye promosi ini memberikan kesan kepada publik bahwa hasil penjualan kue tersebut akan disumbangkan untuk amal (rumah sakit anak-anak di Turin). Namun, AGCM menemukan bahwa donasi untuk amal tersebut sudah ditetapkan sebagai jumlah tetap oleh perusahaan Ferragni jauh sebelum peluncuran penjualan, terlepas dari berapa banyak kue yang terjual.